Project
A Tale of Two Cities: Narrative Archive of Memories III, Jakarta

Throughout September and October 2018, Project 7 ½ presents two exhibitions in Jakarta, Indonesia. From September 13 to September 29, A Tale of Two Cities: Narrative Archive of Memories III will be held in the National Gallery of Indonesia and from October 1 to October 31, An Elephant in the Room will be held in Jakarta History Museum. Both exhibitions in the National Gallery of Indonesia and Jakarta History Museum are extensions of Project 7 ½’s ongoing trajectory since 2014.

Following the method of the exhibitions in Seoul and Gimhae, A Tale of Two Cities: Narrative Archive of Memories held in the National Gallery of Indonesia will continue with the story of ‘Korean and Indonesian.’ Its participating artists are Forum Lenteng (Jakarta), Irwan Ahmett & Tita Salina (Jakarta), Jatiwangi art Factory (JaF)+Badan Kajian Pertanahan (Jatiwangi), mixrice (Seoul), Sulki & Min (Seoul), and Sunah Choi (Busan, Berlin).

The exhibition A Tale of Two Cities: Narrative Archive of Memories sets out from the parallel experience and conception of modern history that Korea and Indonesia coincidentally happen to share. The exhibition presents an archive project that assembles, studies, and documents forgotten or disregarded facts and stories from the history of the two countries since 1945. Juxtaposed along this archiving project are the subjective, artistic approaches of Korean and Indonesian artists revolving around the notion of ‘memory.’ Following the two exhibitions in Korea (Seoul and Gimhae), the third exhibition will move to Jakarta, Indonesia, expanding the story one step further. The ‘city’ in this context is perhaps closer to ‘a cultural-historical community’ of a broader sense. On the other hand, the ‘narrative archive’ implies a certain paradoxical ‘chasm’ created between the objective, universal facts, and subjective, selective memories. This exhibition uncovers and explores this ‘difference’ between reality and illusion, community and individual, and objective records and artistic translation. Depending on the situation and context, these paradoxical ‘differences’ arising from individual artworks of the exhibition will lucidly manifest at times. At other times, subtle moments of intersection and cross-penetration of seemingly contradictory matters will unfold.

Sepanjang bulan September hingga Oktober 2018, Project 7 ½ akan menghadirkan dua pameran di Jakarta, Indonesia. Kisah Dua Kota: Arsip Naratif dari Ingatan akan diadakan di Galeri Nasional Indonesia dari tanggal 13 September hingga 29 September, dan dari tanggal 1 Oktober hingga 31 Oktober Gajah Dalam Ruangan akan diadakan di Museum Sejarah Jakarta. Kedua pameran yang diselenggarakan di Galeri Nasional Indonesia dan Museum Sejarah Jakarta ini merupakan proyek berkelanjutan dari Project 7 ½ yang bermula sejak tahun 2014.

Lewat pameran yang pernah kami lakukan di Seoul dan Gimhae, Kisah Dua Kota: Arsip Naratif dari Ingatan yang diadakan di Galeri Nasional Indonesia akan berlanjut dengan kisah tentang ‘Korea dan Indonesia’. Beberapa seniman yang berpartisipasi dalam pameran ini antara lain: Forum Lenteng (Jakarta), Irwan Ahmett & Tita Salina (Jakarta), Jatiwangi art Factory (JaF) + Badan Kajian Pertanahan (Jatiwangi), mixrice (Seoul), Sulki & Min (Seoul), dan Sunah Choi (Busan, Berlin).

Pameran Kisah Dua Kota: Arsip Naratif dari Ingatan berawal dari pengalaman paralel dan gambaran tentang sejarah modern Korea dan Indonesia yang secara kebetulan berjalan bersamaan. Pameran ini menghadirkan proyek arsip dengan cara mengumpulkan, mempelajari, dan mendokumentasikan fakta serta kisah yang terlupakan atau terabaikan dari sejarah kedua negara sejak tahun 1945. Pokok dari proyek ini adalah menyandingkan berbagai arsip tersebut lewat pendekatan artistik seniman Korea dan Indonesia yang berkisar di wilayah gagasan tentang ‘ingatan’. Setelah dua pameran di Korea (Seoul dan Gimhae), pameran ketiga ini diselenggarakan di Jakarta, Indonesia dengan memperluas kisahnya selangkah lebih maju. ‘Kota’ dalam konteks ini lebih mendekati kepada ‘komunitas sejarah-budaya’ dengan pengertian yang lebih luas. Di sisi lain, ‘Arsif Naratif’ menyiratkan sebuah ‘jurang’ yang berlawanan antara kesepakatan sejarah, fakta universal dan kepingan kenangan yang subjektif. Pameran ini menyingkap dan mengeksplorasi ‘perbedaan’ antara realitas dan ilusi, komunitas dan individu, serta catatan objektif dan terjemahan artistik. Bergantung pada situasi dan konteksnya, ‘perbedaan’ paradoksal ini muncul dari karya seni individual dari pameran yang akan bermanifestasi secara gamblang. Disaat yang lain, persimpangan dan penetrasi silang yang tidak terduga akan hal-hal yang nampak bertentangan pun akan terungkap.

1

Sulki & Min Dinosaur 공룡 2017–2018 paint on wall dimensions variable
 

Gyeryong, South Chungcheong province, is the smallest city in South Korea, with a population of 41,730 as of 2015. Designed as a military town, it hosts headquarters of three major defence departments (army, navy, and air force), with more than 40% of the population working for, or related to, the military. As of 2014, of the 8,729 workforces of the city, none were working in the primary industry; 785 in manufacturing; and the rest in the tertiary sector including commerce and services. Sabang is probably the smallest city in Indonesia, with an estimated population of 28,454 as of 2014. It consists of several islands off the northern tip of Sumatra and is the northernmost and westernmost city in Indonesia. There are remnants of fortifications and bunkers built by the Japanese occupying forces during the Second World War. Its major industry is agriculture. El dinosaurio was written by the Guatemalan writer Augusto Monterroso Bonilla (1921–2003) in 1959. Composed of mere seven words, it is one of the shortest novels ever written. It was, at least, known as the shortest Spanish work until Luis Felipe Lomelí published the four-word story El emigrante in 2005. There have been many interpretations of the story, but it’s apparent to us that the work is about the city and memory. In Sulki and Min’s Dinosaur, five stages of a story—exposition, rising action, crisis, climax, and resolution—will be installed on the walls in the exhibition space in an order containing rich meanings, yet also providing an incomplete reading experience for the audience.
 

Gyeryong, provinsi Chungcheong Selatan, adalah kota terkecil di Korea Selatan dengan jumlah populasi 41,730 pada 2015. Dirancang sebagai kota militer, kota ini memiliki tiga markas departemen pertahanan (angkatan darat, laut, dan udara), dengan lebih dari 40% populasi bekerja, atau terhubung, dengan militer. Pada 2014, dari 8,729 pekerja di kota tersebut, tak ada yang bekerja pada industri utama; 785 bekerja pada manufaktur, dan sisanya pada sektor tersier termasuk bidang jasa dan perdagangan. Sabang mungkin adalah kota terkecil di Indonesia, dengan perkiraan populasi berjumlah 28,454 pada 2014. Sabang terdiri dari beberapa pulau di ujung utara Sumatra dan merupakan kota paling utara dan paling barat di Indonesia. Di sana terdapat sisa-sisa benteng dan bunker yang dibangun pada masa penjajahan Jepang saat Perang Dunia II. Agrikultur merupakan industri utamanya. El dinosaurio ditulis oleh penulis asal Guatemala bernama Augusto Monterroso Bonilla (1921–2003) pada tahun 1959. Tersusun hanya dengan tujuh kata, merupakan novel terpendek yang pernah ditulis. Novel tersebut diketahui sebagai karya novel Spanyol terpendek hingga kemudian Luis Felipe Lomeli menerbitkan cerita yang tersusun dari empat kata, yaitu El emigrante pada 2005. Telah banyak interpretasi mengenai cerita tersebut, namun jelas sekali bahwa cerita tersebut adalah tentang kota dan ingatan atasnya. Pada karya Sulki dan Min Dinosaur, lima tahap bangunan cerita—eksposisi, pemunculan konflik, krisis, klimaks, dan penyelesaian—akan dipasang pada dinding ruang pameran agar menjadikannya penuh makna, juga disediakan pengalaman pembacaan yang belum selesai bagi para pengunjung.

 

 

2

mixrice Gosari 고사리 2018 single-channel video (sound) video kanal tunggal (suara)

Guest members: Jungwon Kim, Ik Kyun Shin / Collaborated with: Lair Music / Special thanks to Rumah Tuli Jatiwangi and all participants in Jatiwangi
 

Gosari is about ‘community’ which mixrice has steadily worked with a big interest. In this work, they are trying to connect the community dance that originated from the former Korean agrarian society with the present that it is facing today. The original form of this community dance is Gang-Gang Suwol-le. The entire dance involves Hui (joy), Ro (anger), Ae (sadness), Lak (pleasure), Ae (love), Oh (hatred), Yuk (greed) of the Korean people. In this project, a part of this dance called ‘Gosari gungi’ (picking brackens) will be recreated with Indonesians. In Gosari, individual parts form the entire dance, a reenactment of the existing Korean community dance adapted to the Indonesian situation and to those participating in the project. Lair Music from the Jatiwangi village created the music. And Rumah Tuli Jatiwangi participated in the workshop and perform.

Gosari adalah tentang ‘komunitas’, yang mana menjadi ketertarikan mixrice selama ini. Pada karya ini, mereka mencoba untuk menghubungkan situasi masa kini dengan tarian komunitas yang berasal dari masyarakat agraris Korea di masa lampau. Bentuk asli dari tarian komunitas ini adalah Gang-Gang Suwol-le. Keseluruhan tarian memperlihatkan Hui (kegembiraan), Ro (kemarahan), Ae (kesedihan), Lak (Kepuasan), Ae (Cinta), Oh (Kebencian), Yuk (keserakahan) dari masyarakat Korea. Pada proyek ini, salah satu bagian dari tari ini yang disebut ‘Gosari Gungi’ (Panen sejenis tanaman pakis) akan diciptakan ulang berkolaborasi dengan orang Indonesia. Dalam Gosari, bagian-bagian individual dari keseluruhan tari, merupakan sebuah praktik ulang dari tarian komunitas Korea yang diadaptasi ke dalam konteks Indonesia dan mereka yang berpartisipasi. Proyek ini berkolaborasi dengan kelompok musik Lair dari Jatiwangi yang membuat musiknya dan Rumah Tuli Jatiwangi yang juga terlibat pada lokakarya dan pertunjukannya.

 

3

Sunah Choi Palimpsest of Narratives Menulis Kembali Jejak Naratif 다시쓰는 서사 2018 fotogramm 12 pieces, 18 × 24 cm each

 

Found in traditional Indonesian textile, Batik is an old dyeing technique that uses wax and natural color. The tradition of ornamenting textile through Batik can be found in various regions such as Southeast Asia, India, Africa, and Oceania. However, the Batik craft culture developed in Java, Indonesia especially boasts a long tradition as well as a highly developed technique. The patterns found in the Batik sometimes embody abstracted or geometricized nature, situations that give a glimpse of the folkloristic life of the ordinary people, or narrative elements that portray the region’s culture. Palimpsest of Narratives abstractly weaves Indonesia’s Batik patterns with various traditional patterns of other cultures through a photographic collage method, namely the black and white photogram. Through this process of intersection and overlapping, new meanings and texts are born, shedding a different light to the original aesthetics and the literary information each pattern holds.

 

Batik merupakan kerajinan tekstil tradisional Indonesia yang menggunakan metode pencelupan kuno dengan menggunakan lilin dan pewarna alami. Tradisi membatik dapat dijumpai di berbagai daerah seperti Asia tenggara, India, Afika dan Oseania. Namun budaya membatik yang ada khususnya di wilayah Jawa merupakan tradisi yang mengakar lama dengan disertai perkembangan teknik yang lebih maju. Pola- pola yang terdapat pada Batik terkadang menggambarkan sebuah abstraksi atau geometris alam, sebuah situasi yang menggambarkan pandangan sekilas tentang dongeng kehidupan masyarakat pada umumnya atau elemen-elemen yang menggambarkan budaya suatu daerah. Bahan pembuatan dari penggambaran secara abstrak menghubungkan pola Batik Indonesia dengan berbagai pola tradisional dari budaya-budaya yang lain melalui metode kolase foto, yaitu fotogram hitam dan putih. Melalui proses persimpangan dan tumpang tindih ini terlahirlah makna dan tulisan yang baru, serta melepaskan cahaya yang berbeda dari estetika aslinya dan informasi sastra yang dimiliki masing-masing pola.

 

4
Irwan Ahmett & Tita Salina
The Flower Diplomacy Diplomasi Bunga 꽃 외교 Tokyo, Japan and Bogor, Indonesia, 2018 video installation 5:35 minutes
The Flower Diplomacy was Sukarno’s romantic strategy to charm Kim Il Sung by monumentalizing his name on species of a flower. At that time the economy and political circumstances in Indonesia needed North Korea’s support as its alliance to show the opposition towards the western hegemony in the Asian region.
Diplomasi Bunga merupakan siasat romantis dari Soekarno untuk memikat Kimilsung dengan mengabadikan namanya menjadi sebuah bunga. Dimana kondisi ekonomi dan politik Indonesia saat itu sangat membutuhkan dukungan dari Korea Utara sebagai aliansi untuk menunjukkan bentuk perlawanan terhadap hegemoni ideologi barat di kawasan Asia.

 

The Flower Currency Bunga Mata Uang 통화(通花) Ansan, South Korea, 2017 video installation 2:29 minutes
The Flower Currency is a flower composed of the ‘petals’. It is made by Indonesian workers’ hands who got accidents at work in South Korea which many of them impact permanently. A message is for keeping the safety first always, yet it is a flower presented as the symbol of ‘never give up’ spirit and their sacrifices for South Korea.
Bunga Mata Uang adalah bunga yang dirangkai dari kelopak-kelopak tangan buruh migran Indonesia di Korea Selatan yang mengalami kecelakaan kerja dengan dampak permanen. Selain sebagai pengingat keutamaan kesemalatan kerja, bunga ini dipersembahkan sebagai simbol semangat pantang menyerah dan pengorbanan mereka untuk Korea Selatan.

 

Migrating Message Memigrasikan Pesan 메시지 이동 Gimhae, South Korea, 2018 video installation 9:02 minutes
A grief marker is dedicated to migrant workers who’ve gone missing in the ocean with the symbolic procession inspired by the faith of muslim and coastal people in Java to humanize them. The grief marker in the form of headstones is placed facing North and South. This temporary monument is created from the personal relation of migrant workers from Nepal (that doesn’t have sea) and Indonesia (maritime country) with the sea and placed it on the ruins of ancient tomb site, Daesong-dong, Gimhae. It is a pilgrimage in a long stretch of time from ruins that had been deeply buried thousands of years ago to Anthropocene age. As deep as piles of narrations, layers of future and hopes in the mind of migrant workers in South Korea.
Sebuah penanda duka dipersembahkan bagi pekerja migran yang hilang di lautan. Prosesi memanusiakan para korban melalui ritual simbolik yang terinspirasi dari kepercayaan pesisir dan budaya Muslim di Jawa untuk memberikan penanda dengan nisan di arah Utara dan Selatan. Monumen kesementaraan tersebut dibangun dari relasi personal buruh migran asal Nepal (yang tidak mempunyai laut) dan Indonesia (negara maritim) dengan laut dan menempatkannya diatas reruntuhan situs pemakaman kuno Daesong-dong, Gimhae. Berziarah dalam bentangan waktu yang terpendam dari reruntuhan ribuan tahun lalu ke zaman Anthropcene. Sedalam narasi yang bertumpuk, sedalam lapisan-lapisan persoalan dan harapan dalam pikiranpikiran buruh migran di Korea Selatan.

 

5
Forum Lenteng Kulturecinema #4. The Fate of Huyung: Why Has He Left For The South? Kultursinema #4. Takdir Huyung 컬쳐시네마 #4. 후융의 운명: 왜 그는 남쪽으로 떠났는가? 2017–2018 video, archiving installation dimensions variable

 

Beginning from Japanese military occupation in Indonesia (1942–1945) and Indonesian Revolution (1945–1949), to the early Sukarno’s rule (1949–1952), Huyung took part in many activities such as theater, cinema, art, and culture along with other notable figures in Indonesia. Huyung offered his thoughts through various media, such as writing, play, film, and theater school. His perspectives became the standpoint in the development of Indonesian aesthetics in art, photography, music, cinema, theater, literature, as well as issues of national identity, education, and the importance of government alignment in the development of art in Indonesia. Kulturecinema #4. The Fate of Huyung: Why Has He Left For The South? tries to compile Huyung’s viewpoint about cinema aesthetics and identity of Indonesian art and culture through archive and documentation. [compiled by the artist]

 

Dimulai dari masa okupasi militer Jepang di Indonesia (1942–1945) dan Revolusi Indonesia (1945–1949), sampai ke awal masa kekuasaan Soekarno (1949–1952), Huyung ambil bagian dalam banyak aktifitas teater, sinema, seni, dan budaya bersama figur-figur penting lainnya di Indonesia. Huyung menuangkan pemikirannya melalui banyak medium, seperti tulisan, sandiwara, film, dan sekolah teater. Perspektifnya penting bagi perkembangan estetika Indonesia di bidang seni, photografi, musik, sinema, teater, literatur, juga pada persoalan identitas nasional, pendidikan, dan pentingnya peran pemerintah dalam perkembangan seni di Indonesia. Kultursinema #4. Takdir Huyung mencoba mengkompilasi sudut pandang Huyung mengenai estetika sinema dan identitas seni budaya Indonesia melalui arsip dan dokumentasi. (dikompilasi oleh Mahardika Yudha).

 

 

6
Jatiwangi art Factory— Badan Kajian Pertanahan Land Cultural Certificate Sertipikat Kebudayaan Tanah 토지문화증명서 2017–2018 mixed media installation dimensions variable
In 2017 Land Study Affair Agency (BKP) holds the event of making the Land Cultural Certificate independently as a form of recognition and appreciation for the efforts of Hamlet Wates-Jatisura whose land of residence was claimed by the Air Force since 1950. They defend what should belong to them, including living their land culture with inspiring cultural actions as an expression of the sense of the rightful owner of the Wates hamlet culture, so the land becomes more valuable and dignified. This certificate was designed to resemble the Land Certificate issued by the National Land Agency (BPN) RI, what distinguishes is the addition of the word ‘Culture’ between the word certificate and the land. On the project, there were 85 people who signed up to create the Land Culture Certificate, representing 85 families in the village. Badan Kajian Pertanahan (BKP) literally means Land Affair Study Agency (we mimicked ‘National Land Affairs Agency a Government institution) is a cultural landscape research collective that conducts artistic research through the artistic project, residency, and minilab.
Pada 2017 Badan Kajian Pertanahan (BKP) mengadakan peristiwa pembuatan Sertifikat Kebudayaan Tanah secara mandiri sebagai bentuk pengakuan dan penghargaan atas berbagai jerih payah warga Dusun Wates-Jatisura yang tanah tempat tinggalnya diklaim oleh Angkatan Udara sejak tahun 1950. Mereka mempertahankan apa yang seharusnya menjadi miliknya, termasuk terus menerus menghidupi kebudayaan tanah wilayah tersebut dengan berbagai tindakan kultural yang menginspirasi sebagai ungkapan rasa pemilik kebudayaan Dusun Wates, sehingga tanah menjadi lebih bernilai dan bermartabat. Sertifikat ini didesain menyerupai Sertifikat Tanah yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI, yang membedakan adalah penambahan kata ‘Kebudayaan’ di antara kata sertifikat dan tanah. Pada proyek tersebut, ada 85 orang yang mendaftar untuk membuat Sertipikat Kebudayaan Tanah, mewakili 85 Kepala Keluarga. Badan Kajian Pertanahan (BKP) adalah kolektif yang fokus pada kajian tentang seluk beluk pertanahan dan segala lanskap kultural yang terkandung di dalamnya melalui proyek artistik, residensi, dan lab mini.